ESAI 

Sastra di Tengah Pikiran Tertutup

Setelah acara bedah buku novel Pikiran Orang Indonesia karya Hafis Azhari di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, saya menulis opini untuk harian nasional Kompas dengan judul, “Agama Tanpa Akal dan Hati Nurani” (21 November 2018). Selama beberapa minggu kemudian, banyak tamu berdatangan di lembaga pendidikan kami. Banyak juga pertanyaan yang dilayangkan langsung melalui telepon dan SMS. Salah satu pertanyaan sederhana yang perlu saya jelaskan jawabannya secara panjang-lebar adalah sebagai berikut: mengapa sastra begitu penting? Bukankah segala hal sudah ditemukan jawabannya melalui buku-buku agama?

Perlu saya tegaskan bahwa banyak hal yang tak bisa dipahami dalam hidup ini, kecuali dengan sastra. Tanpa karya sastra, akan banyak pintu-pintu kebenaran yang kehilangan kuncinya. Salah satu yang bisa dipahami melalui pintu sastra adalah politik. Jika suatu bangsa memasuki dunia politik, dengan miskin karya sastra, maka hidup mereka akan terjerembab ke lembah ilusi dan khayalan semata.

Dengan mempelajari karya sastra, suatu bangsa akan sanggup berpikir secara lentur dan elastis. Elastisitas pola pikir sangat diperlukan bangsa ini dalam menghadapi segala perbedaan yang sering mengandalkan semangat primordialisme. Tanpa karya sastra, kepribadian bangsa akan terus-menerus terbelah dalam dua kutub ekstrim kiri dan ekstrim kanan, hitam atau putih, neraka atau surga, salah atau benar, kafir atau iman dan seterusnya.

Menghadapi kebuntuan dikotomi semacam itu, keberadaan novel Pikiran Orang Indonesia (selanjutnya saya sebu ‘POI’) adalah rumus penting yang dapat mengarahkan pola-pikir masyarakat, agar dapat memahami kausalitas dan hukum alam dengan baik. Secara teoritis, karya sastra adalah suatu abstaksi yang membutuhkan waktu yang cukup untuk dapat memahaminya. Tetapi, meskipun karya sastra adalah abstraksi, ia tidak serta-merta bisa diaplikasikan ke dalam struktur kerangka berpikir. Karena kerangka berpikir berkaitan erat dengan logika, maka diperlukan latihan bagi suatu bangsa, untuk memasukkan software sastra ke dalam kerangka berpikir tersebut.

Novel POI sarat dengan data-data otentik tentang perpolitikan Indonesia masakini. Saya kira, novel itu ditulis bukan hanya sebagai bentuk pemenuhan hasrat individualisme penulisnya. Tetapi, merujuk maknanya kepada sesuatu yang otentik, yang tentu merupakan penegasan demi suatu kemaslahatan. Cara bersastra seperti itu, bukan saja berfungsi selaku hiburan (dulce), tetapi juga sanggup memberi makna bagi kehidupan (utile). Selain itu, sastra juga mampu memberi pelepasan jiwa manusia menuju dunia yang lebih imajinatif.

Novel POI sebagai dulce et utile, menggumul sastra tak hanya memberi kesenangan-kesenangan yang indah dan mengharukan. Dengan sastra yang demikian, pembaca akan banyak memetik hikmah yang terkandung di dalamnya, semisal tentang pengetahuan dan wawasan politik kontemporer, kebenaran, moralitas, bahkan konsep kepemimpinan dan kekuasaan totaliter.

Sebagaimana filsafat, sastra yang otentik ini kelak akan membawa bangsa Indonesia ke ruang-ruang penuh ide. Ketika kering mulai melanda, mereka tak perlu bersusah pikir lagi untuk mengentaskannya. Bahkan sebelum itu terjadi, pengentasannya sudah akan mendahului secepat yang tak terkira. Itu jika bangsa ini mau diajak optimistis pada ide-ide manusia, tanpa perlu mengandalkan ide-ide yang tak jelas asal-usul turunnya seperti mitos, takhayul, khurafat dan seterusnya.

 

Unsur Ekstrinsik POI

Dilihat dari bentuknya, novel POI jelas merupakan hasil kreativitas penulis terhadap pencermatannya pada realitas politik Indonesia. Untuk itu, membentuknya dalam rangkaian yang indah nan imajinatif – seperti juga filsafat – setidaknya dibutuhkan ilmu mengenai sastra itu sendiri. Dalam hal ini, teori sastra adalah hal yang perlu untuk dikuasai. Sistem pengetahuan ini yang nanti akan membantu penulis (juga pembaca) dalam merespons kehidupan sosial yang menggejala di tengah masyarakat kita.

Penulis novel POI tergolong pekerja sastra yang mampu menghadirkan karyanya, bukan semata-mata berdasarkan rekaan dan khayalan. Tujuan yang ditampilkannya bukan semata-mata sebagai sarana penghibur. Tak jarang di antaranya menampilkan tanda-tanda dari gejala sosial-politik dalam perwujudannya. Pada titik inilah, novel POI memberikan pukulan telak bagi para pekerja seni – termasuk yang senior – yang seringkali ‘genit’ dan menganggap seni sebagai hiasan dan pelampiasan kebebasan ekspresi. Tetapi, penulis POI justru sanggup menggarap realitas perpolitikan kita dalam harmoni dan satu kesatuan yang simultan.

Hakikat lain dari novel POI, mengingatkan kita pada rumusan filosof Descartes, bahwa kita berpikir, karena itu kita ada (cogito ergo sum). Jadi, bukan semata-mata karya sastra yang bersifat khayalan, rekaan, atau berpikir tanpa wujud. Tetapi, bersastra yang otentik, bukan hanya meraba-raba kisah agar menjadi relevan dengan kenyataan yang ada. Saya kira, sudah saatnya para penulis, sastrawan dan budayawan kita, untuk senantiasa berjiwa besar, serta berani memosisikan karya-karya terbaru anak bangsa, agar layak mendapat perhatian di tengah masyarakat.

Tentu saja hal ini tidak mudah, karena di satu sisi keangkuhan intelektual yang menjadi ciri khas karakteristik penulis dan sastrawan, harus legowo untuk dikesampingkan. Sama halnya dengan sifat iri hati yang sebenarnya hanya akan melahirkan kejumudan berpikir. Alih-alih membangun kesadaran, yang ada justru merusak nama baik dan kewibawaan. Saya kira, penulis novel POI paham betul mengapa ia harus bersastra. Ia bukan semata-mata menggoreskan ide dalam secarik kertas, tetapi juga menyimpannya lalu menebarkannya sebagai benih-benih. Ia bersastra bukan semata-mata memberi hiburan dan kebebasan ekspresi, tetapi sekaligus memiliki tujuan-tujuan politis, yakni menegakkan politik hati nurani bangsa.

 

Sastra Tanpa Arah Tujuan

Bersastra tanpa tujuan politis cukup banyak dilakoni dalam hidup para penulis dan sastrawan Indonesia. Dalam arti, hasrat dan hobinya cukup terpuaskan dengan menulis, tanpa merasa perlu karyanya akan berefek bagi kemajuan peradaban bangsa, atau justru sebaliknya. Saya kira, setiap penulis sama-sama menyadari bahwa bersastra, berkarya, menulis, tujuan utamanya untuk memanusiakan manusia. Proses pemanusiaan inilah yang harus menjadi laku para sastrawan sebagai manusia politik, seorang individu bebas yang bersosial, seorang individu merdeka yang otentik.

Karena itu, pikiran penulis harus terbuka dalam membaca realitas yang ada. Sebagaimana sosok Aris selaku tokoh utama POI, ia harus mampu menentang ambiguitas. Setiap penulis selalu ingin menemukan jawaban yang masuk akal atas suatu peristiwa politik di negeri ini. Ia tidak mau diombang-ambingkan oleh gelombang kebimbangan. Fenomena Aris adalah satu dari warganegara Indonesia yang tidak tahan berada dalam ketidakpastian. Ia tidak mudah percaya pada pernyataan-pernyataan sepihak demi kepentingan kekuasaan. Sementara, banyak orang lebih memilih menjatuhkan diri ke lembah pikiran sempit serta berkubang dan kebingungan dan kebimbangan yang abadi.

Kita dengan mudah bisa menyaksikan tokoh-tokoh muda yang diombang-ambingkan dalam sistem perpolitikan kita. Tidak peduli benar atau salah, orang menjadi terburu-buru memberi penilaian, gampang mengambil keputusan, dan tergesa-gesa percaya pada berita dan rumor. Kenapa mereka melakukan tindakan-tindakan konyol semacam itu? Jawabannya, mereka tidak ingin berlama-lama berada dalam kebingungan. Orang yang tidak nyaman pada kebingungan juga akan susah mengubah keyakinan yang telanjur mereka pilih, meskipun pada gilirannya mereka tahu itu salah.

Terkait dengan ini, seorang pakar psikologi modern, Arie Kruglanski memperkenalkan istilah cognitive closure untuk menjelaskan keingintahuan seseorang guna mencapai jawaban tegas atas pertanyaan yang membingungkan, serta keengganan berdiam diri di tengah ambiguitas. Dengan menggunakan skala yang sudah dirancang sedemikian rupa, kita bisa mengukur seberapa tinggi atau rendah ketidaknyamanan seseorang pada kondisi yang membingungkan. Dalam skala ketaknyamanan yang tinggi, ternyata orang akan tergesa-gesa dan mudah memberi penilaian dan mengambil keputusan. Ia gampang percaya pada pernyataan orang lain, berpikiran tertutup, dan sulit menerima pikiran-pikiran baru.

 

Mengobati Pikiran Sempit

Creativity Research Journal telah memuat hasil penelitian tiga ilmuwan dari University of Toronto, Kanada, yang dipimpin oleh seorang psikolog, Maja Djiki. Berdasarkan penelitian mereka, obat penyakit pikiran sempit sesungguhnya murah dan mudah. Dengan membaca karya fiksi bermutu, orang bisa terhindar dan terlepas dari gangguan rasa tidak nyaman akan ketidakpastian. Begitulah kesimpulan penelitian mereka.

Dalam proses penelitian tersebut, terhimpun 100 mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok diminta memilih satu esai di antara delapan esai yang ditulis oleh para penulis terkenal seperti George Bernard Shaw dan Stephen Jay Gould. Kelompok kedua diminta memilih dan membaca satu cerita pendek yang juga ditulis oleh penulis ternama seperti Wallace Stegner, Jean Stafford, dan Paul Bowles.

Setelah membaca esai atau cerita pendek, peserta mengisi survei untuk mengukur kebutuhan mereka akan kepastian dan stabilitas. Hal ini menggunakan model pengukuran Need for Cognitive Closure Scale yang pernah diperkenalkan Kruglanski. Pada akhirnya, studi ini menemukan bahwa mahasiswa yang membaca cerita pendek memiliki skor lebih rendah ketimbang mereka yang membaca esai. Itu artinya, mereka yang membaca karya fiksi, cukup stabil dan kurang bermasalah dalam ketidakpastian.

Setelah itu, Creativity Research Journal menyimpulkan paparannya yang dipertegas oleh psikolog Maja Djiki, bahwa kekuatan karya sastra mampu memberikan penawaran bagi setiap pembacanya, hingga pikiran mereka lebih leluasa dan terbuka. Membaca karya sastra, tambahnya lagi, bisa membuat seseorang memiliki cakrawala berpikir yang lebih lapang dan membantu untuk bisa menyelami dan menerima perspektif orang lain. Para pembacanya menjadi lebih kreatif dalam mengambil keputusan. Sedangkan ilmu-ilmu lain, tidak mampu melakukan hal sedahsyat itu.

Demi menunjukkan solidaritas keindonesiaan saya, novel POI pernah saya terangkan juga dalam opini, “Membangun Akal Sehat” (Kompas, 24 April 2018), sebagai penggugah bagi pihak-pihak yang berwenang bahwa melek-sastra harus menjadi prioritas dan kewajiban bangsa ini. Saya dan segenap warganegara ini terus mempertanyakan peran pemerintah, sudah sejauhmana berkiprah dalam mengentaskan manusia Indonesia yang terkepung oleh ketidaknyamanan atas ketidakpastian dan ambiguitas selama ini.

Sesungguhnya, pemerintah ingin bangsa ini tetap menjadi manusia berpikiran tertutup, ataukah mereka mau berkarya untuk memekarkan anak-anak bangsa menjadi manusia merdeka dan berpikiran terbuka? Pilihan yang Anda tentukan pada saat ini, kelak akan melahirkan dampak positif maupun negatif di kemudian hari. Karena itu, jatuhkan pilihan Anda pada sesuatu yang berdampak positif bagi bangsa ini, juga bagi sejarah hidup Anda sendiri! ***

 

Chudori Sukra

Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI) dan pengasuh pondok pesantren

Riyadlul Fikar, Serang, Banten

 

 

Related posts

Leave a Comment

15 − two =